Krisis
J & J
Jhonson & Jhonson didirikan
pada tahun 1886, J & J adalah perusahaan multinasional produsen farmasentika
, peralatan medis, dan barang konsumsi yang bermarkas di New Brunswick, New
Jersey, Amerika Serikat. Perusahaan ini memiliki 230 anak perusahaan,
beroperasi di 57 negara, dan memperkerjakan sekitar 116.200 pekerja.
Produk-produknya dijual di lebih 175 negara.
Jhonson & Jhonson, dengan 1994 penjualan lebih dati $15
miliar adalah produsen terbesar produk perawatan kesehatan di dunia. Pada tahun
1886 sebagai produsen pertama dari perban steril, semenjak tahn 1987 telah
berkembang hampir dua kali lipat dan sepertiga dari pendapatan produk telah
diperkenalkan dalam lima tahun sebelumnya.
Perusahaan ini menjual mulai dari produk shampo sampai
pengobatan leukimia dan lensa kontak sekali pakai sampai pada stent yang
dimasukan kedalam arteri untuk meningkatan hasil balon angioplasti. Ppada tahun
1995, J & J memiliki sekitar 80.000 pegawaiyang tersebar dalam 160
perusahannya, dengan pasar dilebih 150 negara.
September
1982, tylenol salah satu produk J & J terkontaminasi
oleh racun sianida menyebabkan tujuh orang meninggal di Chicago. Kasus
meninggalnya konsumen tersebut merupakan suatu tragedi yang menghebohkan dan
menjadi sorotan luar biasa oleh media massa dan masyarakat Amerika Serikat.
Kemudian diikuti laporan tentang berbagai penyakit dan kematian sebagai akibat
mengkonsumsi kapsul Tylenol.
Tylenol
adalah obat rasa nyeri yang di produksi oleh McNeil Consumer Product Company
yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Tingkat
penjualan Tylenol sangat mengagumkan dengan pangsa pasar 35% di pasar obat
analgetika peredam nyeri, atau setara dengan 7% dari total penjualan grup
Johnson & Johnson dan kira-kira 15 hingga 20% dari laba perusahaan itu.
Dampak
negatif tidak hanya menghantam J&J sehingga berkembang krisis kepercayaan
dan hilangnya citra perusahaan tersebut, tapi juga menimbulkan kepanikan luar
biasa di masyarakat yang selama ini merasa telah mengkonsumsi tylenol
tersebut.. Dan akhirnya perusahaan sejenis lain ikut
terimbas dampak negatifnya akibat untuk sementara waktu konsumen tidak mau
membeli obat sejenis.
Sianida adalah bahan kimia
yang digunakan untuk melakukan test bahan baku di pabrik. Jika dikonsumsi oleh
masusia maka akan menyebabakan kematian mendadak. Awalnya temuan ini dibantah oleh
perusahaan akibat salah komunikasi namun kesookan harinya diumumkan langsung
kepada media massa. Dugaan semntara adalah ada sekolompok orang yang membeli
Tylenol dalam jumlah besar kemudian membubuhi sianida kedalamnya lalu menjual
kembali Tylenol ke pasar. Perusahaan meyakini bahwa pembubuhan sianida bukan
terjadi di pabrik Fort Washington, Pennsylvania, namun perusaahn tidak mau
menannggung resiko dan memutuskan untuk menarik kembali peredaran semua 93.000
botol dari batch itu yang dibubuhi racun. Semua kegiatan promosi Tylenol pun
dibatalkan.
Tindakan yg diambil :
Ketua Dewan Direksi & CEO
Johnson & Johnson, James E Burke, memutuskan untuk mengambil alih masalah
krisis Tylenol itu. Pada hari senin, 4 Oktober 1982 Burke berangkat ke
Washington untuk menemui FBI & FDA (Badan POMnya Amerika). Ia menyatakan
keinginannya untuk menarik pulang semua kapsul Tylenol Extra Strength. Namun
kedua lembaga tadi menyarankan untuk tidak melakukan penarikan total karena
akan memberi kesan kemenanagan kepada si pelaku betapa ia telah mampu
menaklukkan sebuah korporasi raksasa dengan perbuatannya itu. FDA juga kuatir,
bahwa penarikan total bakal menyebarkan rasa cemas berkelibahan di masyarakat
terhadap unsur keselamatan obat-obatan di Amerika. Namun, ketika keseokan harinya
terdapat lagi peristiwa meninggalnya korban Tylenol, dan kali ini racunnya
adalah Strychnine, FDA menyetujui rencana Burke untuk menarik semua kapsul
Tylenol.
Dalam pelaksanaannya,
penarikan tersebut meliputi 32 juta botol kapsul Tylenol dari seluuruh tempat
di Amerika. Pelaksanaan penarikan itu juga dilakukan melalui iklan untuk
menukar kapsul dengan tablet baru Tylenol. Ribuan surat penawaran dikirimkan
kepada para penjual obat dengan pernyataan pernyataan yang sama dikirimkan
lewat media massa, karena tylenol merupakan obat bebas yang bisa dibeli tanpa
resep dokter. Program Penarikan serta penukaran kapsul dengan tablet pun
diprogramkan melalui televisi.
Dari
segi biaya, dampak yang dialami oleh Johnson & Johnson sangat besar dalam
jangka pendek. Sebelum insiden Tylenol terjadi, harga saham Johnson &
Johnson adalah $46.12 yang langsung turun dengan 7% sebelum menjadi stabil pada
tingkat $45-an. Johnson & Johnson pun terpaksa menghapus $50 juta
dari laba triwulan ketiganya, yang pada waktu itu merupakan jumlah yang besar.
Dari segi keuangan, jumlah tersebut merupaan 26% pengurangan laba perusahaan.
Pada triwulan keempat, laba Johnson & Johnson kemabali turun dengan $25
juta lagi. Perubahan kemasan dengan kemasan baru menyerap biaya tambahan sebesar
$ 2,4 sen per botol karena lebih canggih dan tidak bisa dibuka paksa (tamper
proof). kapsul
Tylenol yang dikemas dalam bentuk khusus dengan tiga lapis pengaman (triple
sealed and tamper resistant packaging) yang tidak gampang dirusak oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab. Biaya
Kampanye penarikan stok lama termasuk biaya diskon untuk para dealer pun cukup
besar, sekitar $40 juta. Keseluruhan biaya extra ini akhirnya menjadi $ 140
juta. Tambahan pula, Johnson & Johnson mengahadapi tiga tuntutan hukum, sehubungan
dengan kasus kematian di Chicago, walaupun akhirnya berhasil memenangkan
gugatan karena memang tidak ada kaitan kematian para korban bisa dibuktikan
terjadi akibat kelalaian Johnson & Johnson.
Langkah
berikut, tindakan kuratif secara terpadu dengan membentuk tim posko untuk
menghadapi tragedi kapsul maut tersebut. Humas J&J bekerja sama dengan
media massa menjawab secara tertulis ribuan pertanyaan yang setiap hari
dilontarkan oleh publiknya. J&J juga membuka saluran telepon hotline.
Pada prinsipnya, J&J membuka semua saluran komunikasi dan informasi namun
tetap terkendali. Sedangkan upaya mengembalikan keyakinan dan kepercayaan
masyarakat pada merek dagang tylenol
dilakukan melalui pimpinan tertinggi sebagai juru bicara perusahaan,
yaitu James E. Burke yang muncul di berbagai saluran TV dalam
berbagai kesempatan untuk menjelaskan secara gamblang dan terbuka mengenai
kejadian tersebut. Bahkan pihak J&J mengadakan konferensi untuk 3000 buah
stasiun televisi (lokal & nasional) dan mengundang 600 wartawan, mengirimkan 7.500 media kit ke kantor-kantor berita sebelum
telekonferensi, melatih jajaran eksekutif perusahaan agar dapat tampil
mengesankan dan berkomunikasi yang baik ketika berhadapan dengan wartawan, dan
mendistribusikan 80 juta kupon gratis yang dapat ditukarkan dengan produk
Tylenol yang baru. Tindakan selanjutnya adalah mencari sebab-akibat terjadinya kasus tersebut.
Pihak teknisi dan produksi bekerja keras melakukan penyelidikan untuk menemukan
data atau fakta di tempat perkara kejadian sekaligus mencari jawaban atas kasus
Tylenol maut itu pada setiap rangkaian proses produksi di pabrik hingga
pengemasannya. Akhirnya ditemukan fakta bahwa pada bulan September 1982
seseorang yang tidak diketahui identitasnya telah mencampurkan racun sianida ke
dalam Extra Strenght Tylenol Capsules lewat jalur distribusi
atau outletnya, dan akibat lolos dari pengawasan maka secara langsung pil
tersebut dikonsumsi oleh para korban.
Keterbukaan
pihak J&J mampu merebut kembali sekitar 80% pangsa pasarnya dalam jangka
waktu setahun setelah krisis tersebut terjadi. Masyarakat sangat bersimpati
terhadap usaha keras J&J dalam mengatasi krisis yang menelan biaya ratusan
juta dollar karena J&J lebih mementingkan keselamatan konsumennya
dibandingkan kerugian perusahaan.
Pasca krisis :
Keberhasilan
strategi Johnson & Johnson terbukti ketika masyarakat Amerika termasuk
media massa yang biasanya amat kritis, memuji langkah-langkah yang dimabil
Johnson & Johnson itu. Bahkan konsumen mendukung kembalinya Tylenol dengan
kemasan baru. Pada awal 1986, Tylenol kembali tampil menjadi pemimpin pasar
obat peredam nyeri dengan 35% pangsa pasar obat peredam nyeri senilai $1,5
milyar. Tylenol menjadi merek yang paling besar sumbangannya terhadap laba
perusahaan, dengan pendapatan tahunan sebesar $ 525 juta dengan Tylenol
menyumbang sepertiga dari jumlah itu. Johnson & Johnson telah berhasil
mengemabalikan citra perusahaan maupun penjualan Tylenol sehabis dilanda krisis
besar akibat keberpihakaan kepada praktek bisins yang penuh tanggung jawab
terhadap keselamatan konsumennya. Pihak
J&J tetap berusaha keras membangun kembali keutuhan kredibilitas serta
integritas yang tinggi di mata publiknya, walaupun telah dua kali dihantam oleh
kasus krisis yang sama. J&J bahkan memenangkan “Silver Anvil Award”
dari Public Relations Society of America karena kesigapan
perusahaan dalam mengatasi krisis.
Kasus
J & J tersebut termasuk ke dalam jenis Smoldering
crisis, digambarkan pada setiap masalah bisnis serius yang tidak biasa
terjadi di dalam perusahaan. Jika diketahui publik, krisis ini dapat
menimbulkan pemberitaan negatif di media. Selain itu, krisis akan membawa
konsekuensi kerugian bagi persuahaan terkait. Krena ditemukan fakta bahwa pada bulan September 1982 seseorang yang tidak
diketahui identitasnya telah mencampurkan racun sianida ke dalam Extra
Strenght Tylenol Capsules lewat jalur distribusi atau outletnya, dan
akibat lolos dari pengawasan. Krisis J & J ini memasuki
empat tahap, tahap prodromal ketika ditetemukan racun sianida dalam produk,
lalu tahap akut ketika berita terkontaminasinya tylenol sudah menyebar ke
massa, tahap kronik ketika J & J berusaha memulihkan kepercayaan kembali dari masyarakat, dan tahap resosulsi
yaitu J & J bangkit kembali seperti sedia kala.
Daftar Pustaka
· Sumber
buku :
Nova, Firsan. 2009. Crisis Public Relations: Bagaimana PR Menangani Krisis Perusahaan.
Jakarta : Grasindo
Fuad
Afdhal, Ahmad. 2004. Tips & Trik
Public Relation. Jakarta : Grasindo
C. Collins, dan Jerry I. Porras. 2001.
Built to Last : Tradisi Sukses Perusahaan-perusahaan Visioner. Diterjemahkan
oleh Hifni Alifahmi dan editor oleh Nurcahyo Mahanani. Jakarta : Erlangga
· Sumber
internet :
0 komentar:
Posting Komentar